Pandhawa Boyong

Pandhawa Boyong
Pandhawa Boyong

Kamis ini malam Jumat Kliwon. Teater Lingkar menyajikan pagelaran wayang kulit “Pandhawa Boyong”, dengan dalang Ki Sigit Adji Sabdapriyono, dari Purbalingga.

Saya datang terlambat. Di depan gedung telah disambut gadis Kopi Torabika. Ngga’, ah! Saya baru ngopi di rumah. Apalagi di saku jaket saya  ada sebuah aqua gelas. Lebih baik tidak banyak minum, supaya tidak kencing di seputar gedung di sini. Karena WC di sini jarang ada air. Juga pesingnya bukan main.

Di kelir sedang menggambarkan adegan pisowanan Pandhawa setelah menang perang. Rupanya sedang membahas dua hal: 1. Siapa yang akan memimpin Pandhawa sekarang? 2. Bagaimana dan kapan trah Pandhawa akan di boyong ke Astina? Setelah perang Baratayuda, Pandhawa menyisakan 3 orang jagoannya. Diantaranya adalah Werkudara, Janaka dan Puntadewa. Nakula-Sadewa tidak terdengar kabar beritanya. Ternyata cucu-cucu Pandhawa akan segera pindah. Atas hasutan Aswatama putera Pendeta Durna maka, terpengaruhlah Raja Garbaruci, yang bernama Rahaspati untuk mengambil Astina dari Pandhawa. Aswatama hadir dengan penampilan berbeda, sehingga bikin pangling. Berambut panjang di kepala, godeg, kumis, dada dan sebagainya. Ini untuk menyamar agar tidak mudah ketangkap (kayak Noordin M Top) dan hendak membalaskan kekalahan Bala Kurawa. Maka cucu-cucu Pandhawa seperti Sasikirana, Suryakaca, Danurwindu, Sanga-sanga berhadapan dengan pasukan Raja Rahaspati. Akhirnya, cucu Pandhawa menang dan meneruskan perjalanan. Mereka muda usia tetapi sakti luar biasa disertai dengan perlindungan restu dari orang tua dan para leluhur mereka. Aswatama lari, masuk ke hutan Kurujenggala, menjumpai teman lama. Sayangnya, teman lama ini tidak mau diajak sekongkol untuk menyerang Pandhawa yang hendak menduduki tanah Astina. Di bawah tuntunan Kresna, terpilihlah Puntadewa untuk duduk di singgasana, yang membawahi tanah Astina seluruhnya.

Ki Sigit Adji memiliki sabet yang halus di tangan kanan. Ditambah kemampuan menyanyi solo dan mensinopsiskan cerita dalam tembang, menjadikan malam ini pertunjukkan wayang terasa sangat lain. Klasik. Pakemnya tidak neko-neko. Jungkir balik wayangnya sangat presisi dengan bunyi debag-debug. Tidak heran, penonton tetap setia lesehan sampai akhir gara-gara, untuk mendengar dialog dan tembang Banyumasan.

Tinggalkan komentar