Pagelaran Wayang Kulit “Sang Senopati”

Malam Jumat Kliwon ini, pentas wayang menyajikan pentas yang sungguh asyik. tiga dalang unjuk kebolehan. Amar, anak Ki Warseno dan Sindhunata anak Mas Ton mengawali pentas. Sedang Ki Warseno Slang melanjutkan cerita sejak pukul 23.00. Hmmm, soundsystemnya mantap. Sangat mendukung untuk mengalirkan suara Ki Warseno yang memang ‘kung’.

Lakon Sang Senopati
Lakon Sang Senopati

Gatotkaca lahir, masuk dalam kawah candradimuka, hingga membunuh Patih Sekipu jatah dalang anak. Kemudian, lakon Gatotkaca Vs  Resi  Guritno jatah Ki Warseno, yang selama ini lebih banyak ngejob di daerah transmigran dari Sumatera sampai Irian Jaya.

Sabetan dan antawacana dalang anak boleh juga. Mereka layak mendapat wahyu dalang, seperti Gatotkaca mendapat wahyu senopati dari para dewa.

Wisanggeni Lair

Wisanggeni Lair
Gareng, Janaka, Dresanala, Wisanggeni

Malam Jumat Kliwon 1 Sura ini, Teater Lingkar di TBRS mempersembahkan lakon wayang kulit Wisanggeni Lair, dengan Ki dalang M Brahim. Tidak seperti  pentas Jumat Kliwonan yang lalu-lalu, tampaknya 1 Sura malam ini sedikit istimewa. Sebelum pentas Ki Dalang M Brahim berwawancara dengan beberapa budayawan dan seniman di panggung, di antara gamelan. Lanjutkan membaca “Wisanggeni Lair”

Pandhawa Boyong

Pandhawa Boyong
Pandhawa Boyong

Kamis ini malam Jumat Kliwon. Teater Lingkar menyajikan pagelaran wayang kulit “Pandhawa Boyong”, dengan dalang Ki Sigit Adji Sabdapriyono, dari Purbalingga.

Saya datang terlambat. Di depan gedung telah disambut gadis Kopi Torabika. Ngga’, ah! Saya baru ngopi di rumah. Apalagi di saku jaket saya  ada sebuah aqua gelas. Lebih baik tidak banyak minum, supaya tidak kencing di seputar gedung di sini. Karena WC di sini jarang ada air. Juga pesingnya bukan main. Lanjutkan membaca “Pandhawa Boyong”

Merayakan Malam Jumat Kliwon bersama Dalang Ki Enthus Susmono

Dasamuka Gugur oleh Ki Enthus Susmono
Dasamuka Gugur oleh Ki Enthus Susmono

Jalanan padat merayap. Arus lalu lintas tidak lancar. Parkir motor dan mobil para peziarah menyita ruas jalan di sekitar pemakaman umum. Setiap hari Kamis, malam Jumat Kliwon pemandangan seperti ini sering dijumpai. Aroma dupa, kembang mawar, kembang melati berbaur dengan wangi martabak goreng dan arum manis. Ditingkahi dengan bunyi-bunyian mainan anak-anak. Kuburan yang biasanya sepi dan wingit, justru ketika malam Jumat Kliwon ini menjadi pasar malam tiban. Jaman telah berubah, berubah jugalah cara merayakan malam Jumat Kliwon. Bukan dengan merenung dalam hening, melainkan ‘tapa ngrame’ alias menghidupi hingar-bingar. Makin meriah makin asyik.

Entah ada kaitannya atau tidak dengan malam Jumat Kliwonan, Teater Lingkar menyelenggarakan pertunjukkan wayang reguler, setiap malam Jumat Kliwon. Tentu bekerja sama dengan lembaga pemerintah, swasta dan para sponsor. Idealisme yang konsisten semacam ini perlu diapresisasi dan dibela, di tengah ‘pertempuran’ keras nilai-nilai peradaban.

Kali ini, Ki Enthus Susmono menyajikan Dasamuka Gugur. Beliau dikenal sebagai dalang yang ekspresif. Menurut ukuran normal, seringkali kata-katanya dianggap terlalu vulgar dan cabul. Jika sudah tahu begini dan tetap nonton berarti memang sudah siap untuk di-vulgar-i dan di-cabul-i. Jika tidak siap dan tidak mau, ya, jangan nonton! Selain itu, ia juga dikenal sebagai dalang yang kreatif menciptakan berbagai bentuk sungging. Dari wayang sejempol sampai segede orang beneran, dengan model dan bentuk yang berbeda. Ia juga memiliki kemampuan untuk menyajikan wayang golek. Sungguh besar energi yang dimilikinya. Memangku jagad permainan selama minimal 6 jam bukanlah pekerjaan main-main. Stamina perlu diatur.
Malam ini, Ki Enthus sungguh menyajikan kemampuan mendalangnya powerfull. Terutama di ¾ permainan. Didukung para awak gamelan berpakaian biru yang kompak, pesinden yang mampu mendukung suasana, menjadikan kemeriahan pesta Jumat Kliwonan di bawa dalam gedung Taman Budaya Raden Saleh sungguh terasa. Ger-geran tidak habis-habisnya. Nampaknya, Ki Enthus tidak mau terikat erat dengan struktur narasi atau pembagian babak secara konvensional. Dengan santai ia mengatakan, “Indrajit menyiapkan pasukan raksasa, siap menggempur pasukan kera Prabu Rama. Prabu Rama bingung dan minta konsultasi kepada Semar. Jadi, sekarang waktunya ‘goro-goro’.” Demikian juga ‘kata-kata sulit’ dihabisi, malah tidak jarang menggunakan bahasa Indonesia. Gendhing dan tembang-tembang baru diciptakan. Termasuk tembang dalam irama rap. Kritik (sarkastik) dilontarkan. Agak mengejutkan, karena kali ini tidak ditampilkan campur sari dan ‘pengajian’. Entah sejak kapan ditinggalkan. Mungkin dihilangkan dan digantikan dengan ‘wayang goleknya.’ Penonton belum bubar sampai akhir pertunjukkan. Mungkin karena endingnya yang tak terduga.
Semacam inilah upaya Ki Enthus agar wayang kulit tetap memiliki tempat di jaman ini. Usaha yang baik dan menyegarkan. Dan akan lebih afdal lagi jika ‘struktur cerita versinya’ sedikit lebih tertata. Sebab, penonton masa kini telah lebih siap menerima versi yang berbeda. Tentunya sambil mengatur tenaga agar ¼ di bagian akhir ke’enthusannya tidak luntur oleh kelelahan.

Dasamuka Gugur adalah lakon wayang yang mengisahkan tentang matinya Dasamuka oleh Anoman. Sebuah lakon yang menggambarkan harapan, bahwa angkara murka akan terkalahkan. Semoga terjadi di alam nyata. Suatu waktu.